Perkembangan Bahasa Indonesia Di Dunia
Pada Masa Orde Baru
Pada masa ini, uang yang diterbitkan adalah seri Sudirman. Terdiri atas pecahan Rp1.00, Rp2½.00, Rp5.00, Rp10.00, Rp25.00, Rp50.00, Rp100.00, Rp500.00, Rp1.000 Rp5.000 dan Rp10.000.
Uang terbitan masa orde baru ini ditandatangani oleh Gubernur Bank Indonesia, Radius Prawiro dan Direktur Bank Indonesia, Suksmo B Martokoesoemo. Namun, pada tanggal 23 Agustus 1971, justru terjadi devaluasi mata uang Rupiah sebesar 10%. Hal tersebut mengakibatkan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS naik, yang awalnya Rp378.00 menjadi Rp415.00.
Pada tahun 1975, terdapat seri baru yang dirilis dan diedarkan di masyarakat Indonesia. Yakni nominal Rp1.000 dengan gambar Pangeran Diponegoro, nominal Rp5.000 dengan gambar nelayan, dan nominal Rp10.000 dengan gambar relief Candi Borobudur.
Masing-masing dari seri baru tersebut ditandatangani oleh Gubernur Bank Indonesia, Rachmat Saleh dan Direktur Bank Indonesia, Suksmo B Martokoesoemo.
Pada tahun ini, seri baru dari mata uang Rupiah mulai dicetak dan diedarkan lagi, yakni berupa:
Pada tahun ini, terbit seri terbaru yakni dengan nominal Rp50.000 dengan gambar Presiden Soeharto. Bahan yang digunakan dalam mencetak uang tersebut adalah plastik polymer dengan pengaman “Holografis” Soeharto, bukan watermark yang biasa digunakan.
Perkembangan Uang di Indonesia
Perkembangan sejarah uang di Indonesia dimulai pada tahun 800. Selanjutnya, perkembangan ini terbagi menjadi beberapa era. Nah berikut penjelasannya!
Pada masa tersebut, transaksi jual beli masih banyak dilakukan dengan menggunakan emas dan perak. Produksi koin pertama bahkan berasal dari Dinasti Syailendra (Kerajaan Mataram) pada abad ke-9 hingga ke-12.
Selain itu, masyarakat juga menggunakan manik-manik sebagai alat tukar. Manik-manik ini diproduksi oleh Kerajaan Sriwijaya di Sumatera dan akhirnya menyebar ke seluruh penjuru Indonesia. Kemudian, pada akhir abad ke-13, Kerajaan Majapahit yang kala itu menerima kedatangan pedagang China, menjadikan koin tembaga sebagai alat tukar pada masa itu.
Pada tahun ini, orang-orang Eropa mulai berdatangan ke Indonesia dan membawa mata uang masing-masing terutama dalam bidang perdagangan. Hal tersebut menjadikan masyarakat Indonesia juga banyak menggunakan mata uang bangsa kolonial ini.
Kemudian, pada tahun 1752, muncullah uang kertas pertama berkat pembentukan De Bank Courant dan Bank van Leening. Setelah VOC bangkrut, akhirnya Republik Batavia mengeluarkan mata uang sendiri dan membuat koin gulden perak pada tahun 1802.
Pada kala itu adalah masa penjajahan Jepang. Terutama pada tahun 1942, Jepang berhasil menginvasi pemerintahan Hindia Belanda dan mengambil alih seluruh negeri. Hal tersebut menjadikan Jepang membawa mata uangnya sendiri lalu membubarkan bank-bank bentukan Indonesia, termasuk De Javasche Bank.
Setelah pembubaran tersebut, Jepang menerbitkan uang kertas yang dikeluarkan oleh pihak bank Jepang, yakni De Japansche Regeering dan menjadi alat pembayaran yang sah sejak saat itu.
Kemudian pada tahun 1944, Jepang mengeluarkan uang yang dicetak dalam Bahasa Indonesia. Stok uang tersebut tetap dipakai oleh pemerintahan Indonesia sampai tahun 1946.
Pada tahun ini, Indonesia sudah merdeka dan pemerintah pun dapat mencetak mata uang sendiri, dengan menerbitkan ORI atau Oeang Repoeblik Indonesia. Namun, karena saat itu juga negara masih dalam keadaan kacau, akhirnya peredaran ORI menjadi tersendat.
Bentuk fisik ORI pada masa itu sangat sederhana, kualitasnya juga tidak bagus, bahkan sistem pengamanannya masih berupa serat halus biasa. Nah, dalam peredarannya, ORI terbagi atas beberapa penerbitan.
Oeang Repoeblik Indonesia ini pertama kali diedarkan secara resmi pada 30 Oktober 1946. Pecahan uangnya terdiri atas 1 sen, 5 sen, 10 sen, ½ rupiah, Rp1.00, Rp5.00, Rp10.00, dan Rp100.00
Penerbitan ORI selanjutnya justru hanya memiliki empat pecahan saja, yaitu Rp5.00, Rp10.00, Rp25.00, dan Rp100.00.
Untuk penerbitan ini, seluruh mata uangnya memiliki latar tempat dan tanggal berupa Djokjakarta, 1 Djanuari 1945, yang ditandatangani oleh Sjafruddin Prawiranegara.
Selanjutnya, pada ORI III mulai bertambah jumlah pecahannya menjadi tujuh jenis, yakni ½ rupiah hingga Rp250.00. Pada era ini juga ada sebuah pecahan langka yaitu seri Rp100 Maramis.
Pada seri ORI IV ini, terdapata pecahan baru yakni Rp75.00, Rp100.00 dan Rp400.00. Bahkan ada juga salah satu terbitan uang terbaik, terlangka, sekaligus termahal dengan nominal Rp600.00.
Sejarah Uang Pada Bangsa Romawi
Sebelum abad ke-3 SM, bangsa Romawi menggunakan mata uang yang terbuat dari perunggu, yang disebut sebagai aes (Aes Signatum Aes Rude). Tidak hanya dari perunggu, mereka juga menggunakan mata uang koin yang terbuat dari tembaga. Sosok yang dipercaya telah mencetaknya pertama kali adalah Numa atau Servius Tullius.
Lalu, pada tahun 268 SM, bangsa Romawi mencetak uang dinar dari emas yang kemudian menjadi mata uang utama dalam kekaisaran Romawi. Selain itu, di atas uang koin tersebut juga diukir bentuk Tuhan dan pahlawan-pahlawan mereka. Hingga akhirnya, pada masa kekaisaran Julius Caesar, Beliau mencetak gambarnya sendiri di atas uang koin tersebut.
Sejarah Uang Pada Pemerintahan Islam
Pada masa pemerintahan islam, sistem uang terbagi menjadi beberapa masa, yakni masa kenabian, masa Khulafaur Rasyidin, dan masa Dinasti Islam. Pada masa kenabian, bangsa Arab tidak memiliki mata uang tersendiri, sehingga mereka menggunakan dinar emas Hercules, Byzantium, dirham perak dinasti Sasanid (Iraq), dan mata uang bangsa Himyar (Yaman).
Lalu, pada masa Khulafaur Rasyidin, yang kala itu Abu Bakar Ash-Shiddiq diangkat menjadi Khalifah, Beliau tidak melakukan perubahan terhadap mata uang yang telah beredar. Namun, pada masa khalifah Umar bin Khattab, dicetaklah dirham Islam dengan menambah kalimat tauhid seperti Bismillah, Alhamdulillah, dan Muhammad Rasulullah.
Selanjutnya, pada masa dinasti Islam, baru ada mata uang yang benar-benar bercorak Islam, terutama pada masa khalifah Abdullah Malik bin Marwan.
Berkembangnya bahasa indonesia di manca negaraBahasa merupakan salah satu faktor yang tidak akan terlepas dalam hubungan antar Negara. Indonesia yang ikut dalam hubungan komunikasi antar bangsa membuat bahasa Indonesia di kenal di luar negeri. Tidak hanya di asia, bahasa Indonesia juga di kenal di luar asia seperti Australia. Di Australia sendiri bahasa Indonesia memiliki posisi ke-4 sebagai bahasa terpopuler. Banyak Negara yang sudah meresmikan bahasa Indonesia di berbagai universitas dan sekolah khusus lainnya. Contohnya di Vietnam seperti di Universitas Hong Bang dan Universitas Nasional HCMC yang pada setiap tahunnya mata kuliah bahasa Indonesia memiliki jumlah peminat yang cenderung meningkat.
Namun di dalam negeri sendiri, bahasa Indonesia cenderung di remehkan dan para pelajar enggan untuk mempelajari bahasa Indonesia lebih dalam. Metode yang membosankan dalam pembelajaran membuat para pelajar kurang memiliki minat dalam mengembangkan dan menggunakan kosa kata bahasa Indonesia yang benar dan mereka beranggapan bahwa bahasa Indonesia sendiri tidak begitu penting. Tidak hanya para pelajar, kalangan masyarakat pun beranggapan bahwa bisa bahasa Indonesia itu sudah cukup . Para pelajar lebih beranggapan bahwa belajar bahasa asing lebih penting dari bahasa sendiri.
Berbanding sangat terbalik,bahasa Indonesia justru menjadi bahasa yang menarik dan di minati di luar negri. Ada sekitar 52 negara yang telah meresmikan program bahasa Indonesia contohnya Australia, Jepang, Hawai dan Thailand. Seperti di Korea Selatan, pada setiap tahunnya pihak KBRI kota Seoul menyelenggarakan perlombaan berpidato menggunakan bahasa Indonesia.
Perkembangan bahasa Indonesia di mancanegara menjadi peluang yang besar bagi bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional. Namun usaha tersebut harus di awali dari bangsa Indonesia itu sendiri. Sebagai anak bangsa yang cinta akan tanah air, seharusnya kita mempelajari dan mengembangkan bahasa Indonesia dengan baik. Namun kenyataannya para pelajar dan masyarakat lebih mengenal bahasa Indonesia yang kurang baik tutur katanya, tataran penerapan EYD, dan penerapan kata pelesetan, dan terlebih lagi beranggapan bahasa asing lebih di banggakan daripada bahasa sendiri yang membuat bahasa Indonesia terkikis di dalam negeri sendiri.
potensi luar biasa menjadikan Bahasa Indonesia menjadi bahasa Internasional itu terus dikembangkan dan ditingkatkan melalui kerja sama, koordinasi, dan sinergitas Perwakilan RI di negara akreditasi.
Fakta Menarik Bahasa Indonesia
Melansir Kementerian Luar Negeri, mengatakan bahwa Wikipedia Berbahasa Indonesia kini berada di peringkat 25 dari 250 Wikipedia berbahasa asing di dunia. Sedangkan di tingkat Asia, Bahasa Indonesia berada di peringkat tiga, setelah Jepang dan Mandarin. Sebuah pencapaian besar bukan?
Tak hanya itu, Bahasa Indonesia bahkan telah ditetapkan sebagai bahasa resmi ke-2 di Vietnam dan menjadi bahasa terpopuler ke-4 di Australia.
Menurut Kemenlu RI (Diplomasi, No.106 tahun X), ada setidaknya 52 negara asing membuka Program Studi Bahasa Indonesia, beberapa di antaranya; Inggris, Amerika Serikat, Australia, Maroko, Vietnam, Kanada, Jepang, Ukraina, Korea Selatan, Hawaii hingga Suriname.
Program BIPA Semakin Meningkat
Antusiasme warga dunia untuk mempelajari Bahasa Indonesia semakin terlihat dari Program Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing (BIPA). Sampai akhir tahun 2020 tercatat ada 355 lembaga penyelenggara program BIPA di 41 negara, dengan total 72.746 pembelajar. Dari jumlah tersebut, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemdikbud telah memfasilitasi 146 lembaga di 29 negara.
Lihat Sosbud Selengkapnya
Sejarah Uang – Grameds pasti sudah tidak asing dengan keberadaan uang. Yap, uang berapapun nominalnya itu, telah menjadi alat dalam sistem transaksi jual beli yang dilakukan antar manusia. Seseorang tidak mungkin mendapatkan uang dari usahanya sendiri saja, sebab manusia adalah makhluk sosial, maka dalam memperoleh uang pun juga diiringi dengan interaksi bersama manusia lain.
Berbicara mengenai sejarah uang, pasti Grameds tahu bahwa sebelum uang itu ada, orang-orang pada zaman dahulu menggunakan sistem barter untuk proses transaksi jual beli ini. Meskipun sebenarnya, sistem barter ini masih banyak dilakukan terutama di pedesaan, dengan saling menukarkan bahan-bahan sembako dan berbagai jenis sayuran.
Keberadaan uang saat ini ternyata sudah berkembang lho seiring dengan perkembangan zaman. Tak jarang, masyarakat sudah banyak yang beralih ke dompet digital yang tentu saja uang di dalamnya berbentuk digital.
Lalu, bagaimana sih sejarah uang itu? Mengapa sistem barter digantikan begitu saja oleh uang sebagai alat transaksi jual beli? Apa yang dimaksud dengan uang digital?
Nah, supaya Grameds memahami akan hal tersebut, yuk simak ulasan berikut ini!
Sejarah Uang pada Bangsa Lydia
Bangsa Lydia berada di sebuah daerah kuno di Asia Kecil, yang saat ini menjadi bagian sebuah provinsi di Turki. Dipercaya bahwa kemunculan uang itu dicetuskan oleh bangsa Lydia ini, karena kala itu mereka kesulitan dengan adanya sistem barter ketika tengah bertransaksi jual beli, kemudian memberikan ide untuk membuat uang.
Sejarah Uang Pada Bangsa Persia
Pada bangsa Persia, mereka mengadopsi percetakan uang dari bangsa Lydia setelah melakukan upaya penyerangan terhadap Kerajaan Lydia di tahun 546 SM. Awalnya, uang dicetak dalam bentuk persegi empat, kemudian mereka mengubahnya menjadi bentuk bundar dan di atasnya diukir gambar tempat peribadatan.
Mengenal Apa Itu Sistem Barter?
Sebelum membicarakan tentang sejarah uang, akan lebih baik apabila Grameds memahami apa sih sistem barter itu.
Barter adalah sistem transaksi yang pertama kali digunakan para manusia, sebab pada zaman dahulu, manusia belum mengenal apa itu uang. Sistem transaksi barter ini berupa pertukaran antara barang dengan barang, jasa dengan jasa, barang dengan jasa, atau bahkan sebaliknya.
Pada masa lalu, orang atau sekelompok orang sudah merasa bahwa mereka membutuhkan sesuatu yang dihasilkan oleh pihak lain. Selain itu, populasi orang juga semakin meningkat, menyebabkan mereka harus memenuhi kebutuhan sehari-hari, terutama dengan “menggunakan” barang atau jasa yang telah dihasilkan oleh pihak lain.
Maka dari itu, muncullah ide untuk saling menukarkan barang atau jasa. Syarat utama dari pelaksanaan sistem barter ini adalah harus ada orang yang ingin saling menukar barang atau jasa, dan mereka harus saling membutuhkan.
Namun, seiring perjalanannya, sistem barter justru menemui berbagai kendala, diantaranya:
Contohnya, 12 buah jeruk seharusnya memiliki nilai yang sama dengan berapa satu kilogram gandum, tetapi orang-orang belum dapat menentukan standar tersebut sehingga mereka asal-asalan menukarnya.
Kelemahan dari sistem barter adalah ketika hendak bertransaksi, harus ada dua belah pihak yang memiliki barang yang dibutuhkan satu sama lain. Contohnya, ada seseorang yang memiliki gandum, dirinya hendak menukarkan gandum tersebut dengan buah semangka. Itu berarti, dirinya harus mencari seseorang yang mempunyai buah semangka yang sekaligus tengah membutuhkan gandum.
Apabila ternyata pemilik semangka tidak menginginkan gandum tersebut, maka transaksi barter menjadi batal.
Contohnya, ada seseorang yang memiliki seekor ayam dan ingin menukarkannya dengan sebuah meja. Sementara seekor ayam tersebut hanya bernilai sama dengan separuh meja saja. Maka pemilik meja akan kesulitan untuk memecah atau membagi meja tersebut menjadi nilai yang sesuai.
Terutama pada barang yang memiliki jumlah banyak atau ukuran besar, maka pemilik barang tersebut akan kesulitan dalam membawa hartanya kesana-kemari. Belum lagi, harus menemukan orang yang mau setuju untuk menukarkan barangnya tersebut.
Terlebih lagi apabila barang yang hendak ditukar adalah buah-buahan, pasti akan cepat membusuk. Apabila sudah busuk, pasti sudah tidak bisa dijadikan sebagai alat bertransaksi.
Untuk mengatasi kelemahan tersebut, muncullah beberapa pemikiran untuk menggunakan benda-benda tertentu sebagai alat tukar. Benda-benda tersebut biasanya adalah yang dapat diterima oleh umum, memiliki nilai tinggi, dan dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan primer. Contohnya adalah garam, emas, kulit hewan, batu-batuan berharga, logam, kulit pohon, hingga kerang yang memiliki bentuk indah.
Pada zaman Romawi kuno, mereka menggunakan garam sebagai alat tukar dan alat pembayaran upah. Sementara itu pada bangsa Arab, mereka menggunakan unta dan kambing sebagai alat bertransaksi. Ada lagi di masyarakat Tibet yang menggunakan teh-teh ikat sebagai alat tukar.
Meskipun pemikiran ini tergolong lebih maju daripada sistem barter, tetap saja terdapat kelemahan yang menjadikan masa uang barang ini semakin lama semakin berganti. Beberapa permasalahan yang muncul dari penggunaan uang barang ini antara lain:
Atas adanya kelemahan-kelemahan yang didapatkan dari masa uang barang tersebut, memunculkan ide baru untuk menciptakan uang logam. Logam dipilih sebagai alat tukar sistem transaksi sebab memiliki nilai yang tinggi, tahan lama, tidak mudah rusak, mudah dipecah tanpa mengurangi nilai, dan mudah dibawa. Logam yang biasa dipakai sebagai alat transaksi pada era ini adalah emas dan perak.
Pada zaman itu, suatu negara akan dianggap telah mempraktikkan sistem uang emas apabila negaranya telah memiliki standar emas dalam proses transaksi perdagangan. Seiring dengan berkembangnya transaksi perdagangan, maka akan memberikan keuntungan bagi masyarakat, sehingga harta mereka juga makin meningkat.
Nah, mereka akhirnya memikirkan sebuah tempat yang aman untuk menitipkan uang-uang logamnya ke tempat tersebut, karena takut akan risiko pencurian. Biasanya, mereka akan menyimpannya di tukang emas atau pemuka agama.
Pihak-pihak yang dijadikan sebagai tempat “titipan” itu akhirnya memberikan mereka akta berbentuk kertas yang berisikan janji pihak penerima titipan. Akta-akta ini mendapatkan sambutan baik karena diterbitkan oleh seseorang atau lembaga yang mempunyai reputasi keuangan yang terpandang di suatu negara. Kemunculan akta-akta inilah yang menjadi pencetus dalam kemunculan sistem uang kertas.
Kepercayaan masyarakat semakin tumbuh terhadap adanya akta perjanjian yang diterbitkan lembaga keuangan, justru menjadikannya sebagai alat yang masuk ke dalam peredaran transaksi. Jadi, dapat disebut bahwa akta-akta ini bernilai sama dengan uang dan bahkan digunakan secara langsung untuk membeli barang atau jasa.
Pada perkembangan selanjutnya, masyarakat menjadi tidak lagi menggunakan emas secara langsung ketika tengah bertransaksi. Sebagai gantinya, mereka akan menjadikan akta tersebut sebagai alat tukar.
Uang digital tentu saja akan muncul seiring berkembangnya teknologi. Untuk menyelesaikan transaksi ekonomi, banyak pihak yang enggan untuk membawa uang tunai. Mereka lebih suka menyimpannya di dalam rekening bank atau bahkan melakukan top-up, yakni dengan menukarkan uang tunai mereka menjadi bentuk digital.
Penggunaan uang digital ini justru lebih efisien, sebab dapat mudah dibayarkan melalui internet, sms, hingga mobile banking. Uang digital yang saat ini tengah populer misalnya ShopeePay, Dana, Ovo, hingga GoPay.
Sejarah Uang pada Bangsa Mesir Kuno
Zaman Mesir Kuno itu terbagi menjadi dua fase yakni Kerajaan Mesir Lama (3000 SM) dan Kerajaan Mesir Pertengahan (2160-1788 SM). Pada kala itu, yang dijadikan sebagai alat tukar adalah emas.
Sejumlah suku di pedalaman telah mengenal emas menjadikannya sebagai alat budaya, khususnya sebagai perlengkapan persembahan spiritual kuno. Bahkan, mereka juga memakamkan Raja Tutankhamen dalam sebuah peti emas.
Rekomendasi Buku & Artikel Terkait Sejarah Uang
Berkembangnya bahasa indonesia di manca negaraBahasa merupakan salah satu faktor yang tidak akan terlepas dalam hubungan antar Negara. Indonesia yang ikut dalam hubungan komunikasi antar bangsa membuat bahasa Indonesia di kenal di luar negeri. Tidak hanya di asia, bahasa Indonesia juga di kenal di luar asia seperti Australia. Di Australia sendiri bahasa Indonesia memiliki posisi ke-4 sebagai bahasa terpopuler. Banyak Negara yang sudah meresmikan bahasa Indonesia di berbagai universitas dan sekolah khusus lainnya. Contohnya di Vietnam seperti di Universitas Hong Bang dan Universitas Nasional HCMC yang pada setiap tahunnya mata kuliah bahasa Indonesia memiliki jumlah peminat yang cenderung meningkat.
Namun di dalam negeri sendiri, bahasa Indonesia cenderung di remehkan dan para pelajar enggan untuk mempelajari bahasa Indonesia lebih dalam. Metode yang membosankan dalam pembelajaran membuat para pelajar kurang memiliki minat dalam mengembangkan dan menggunakan kosa kata bahasa Indonesia yang benar dan mereka beranggapan bahwa bahasa Indonesia sendiri tidak begitu penting. Tidak hanya para pelajar, kalangan masyarakat pun beranggapan bahwa bisa bahasa Indonesia itu sudah cukup . Para pelajar lebih beranggapan bahwa belajar bahasa asing lebih penting dari bahasa sendiri.
Berbanding sangat terbalik,bahasa Indonesia justru menjadi bahasa yang menarik dan di minati di luar negri. Ada sekitar 52 negara yang telah meresmikan program bahasa Indonesia contohnya Australia, Jepang, Hawai dan Thailand. Seperti di Korea Selatan, pada setiap tahunnya pihak KBRI kota Seoul menyelenggarakan perlombaan berpidato menggunakan bahasa Indonesia.
Perkembangan bahasa Indonesia di mancanegara menjadi peluang yang besar bagi bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional. Namun usaha tersebut harus di awali dari bangsa Indonesia itu sendiri. Sebagai anak bangsa yang cinta akan tanah air, seharusnya kita mempelajari dan mengembangkan bahasa Indonesia dengan baik. Namun kenyataannya para pelajar dan masyarakat lebih mengenal bahasa Indonesia yang kurang baik tutur katanya, tataran penerapan EYD, dan penerapan kata pelesetan, dan terlebih lagi beranggapan bahasa asing lebih di banggakan daripada bahasa sendiri yang membuat bahasa Indonesia terkikis di dalam negeri sendiri.
potensi luar biasa menjadikan Bahasa Indonesia menjadi bahasa Internasional itu terus dikembangkan dan ditingkatkan melalui kerja sama, koordinasi, dan sinergitas Perwakilan RI di negara akreditasi.
Fakta Menarik Bahasa Indonesia
Melansir Kementerian Luar Negeri, mengatakan bahwa Wikipedia Berbahasa Indonesia kini berada di peringkat 25 dari 250 Wikipedia berbahasa asing di dunia. Sedangkan di tingkat Asia, Bahasa Indonesia berada di peringkat tiga, setelah Jepang dan Mandarin. Sebuah pencapaian besar bukan?
Tak hanya itu, Bahasa Indonesia bahkan telah ditetapkan sebagai bahasa resmi ke-2 di Vietnam dan menjadi bahasa terpopuler ke-4 di Australia.
Menurut Kemenlu RI (Diplomasi, No.106 tahun X), ada setidaknya 52 negara asing membuka Program Studi Bahasa Indonesia, beberapa di antaranya; Inggris, Amerika Serikat, Australia, Maroko, Vietnam, Kanada, Jepang, Ukraina, Korea Selatan, Hawaii hingga Suriname.
Program BIPA Semakin Meningkat
Antusiasme warga dunia untuk mempelajari Bahasa Indonesia semakin terlihat dari Program Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing (BIPA). Sampai akhir tahun 2020 tercatat ada 355 lembaga penyelenggara program BIPA di 41 negara, dengan total 72.746 pembelajar. Dari jumlah tersebut, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemdikbud telah memfasilitasi 146 lembaga di 29 negara.
Angka besar yang menjadi bukti nyata bahwa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Luar Negeri berkomitmen untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional dan sebagai instrumen soft power diplomacy.
Mempelajari budaya dan bahasa asing bukanlah hal baru. Banyak negara di dunia sudah sejak lama mengenalkan dan mengajarkan bahasa Indonesia kepada warganya. Bahkan di beberapa negara kawasan ASEAN, bahasa Indonesia menjadi bahasa pengantar.
Ada beragam alasan warga asing tertarik mempelajari budaya dan bahasa Indonesia. Mulai dari ketertarikan terhadap budaya Indonesia itu sendiri, bahasanya yang dianggap mudah, hingga minat terhadap wisata yang mengantarkan mereka ingin belajar segala hal tentang Indonesia.
Selain itu, banyaknya mahasiswa asal Indonesia yang menimba ilmu di luar negeri juga menjadi salah satu faktor yang membuat warga asing akhirnya memutuskan untuk mempelajari budaya dan bahasa Indonesia.
Berikut 7 negara yang mempelajari budaya dan bahasa Indonesia.
Selain memiliki kedekatan wilayah, hubungan bilateral antara Indonesia dan juga Australia terjalin cukup baik. Di beberapa wilayah Australia, tak sulit menemukan orang-orang yang cukup fasih berbicara bahasa Indonesia.
Hal ini lantaran cukup banyak sekolah di Australia yang mempelajari bahkan mewajibkan siswa hingga kelas 7 untuk mengikuti pelajaran bahasa Indonesia.
Sebut saja University of Southern Queensland dan Burgmann Anglican School yang terletak di Ibu Kota Canberra.
Ilustrasi. Hawaii adalah salah satu negara yang mempelajari budaya dan bahasa Indonesia. Mungkin tak banyak yang mengetahui jika Hawaii ternyata juga turut mempelajari bahasa Indonesia. Saking seriusnya belajar bahasa Indonesia, bahkan beberapa pengajarnya ada yang rela terbang langsung untuk mempelajari kebudayaan dan bahasa Indonesia.
Salah satu universitas yang mengajarkan mata kuliah Bahasa Indonesia adalah University of Hawaii at Manoa.
Hubungan antara Indonesia dengan Suriname bisa dikatakan cukup dekat. Hal ini tak terlepas dari masa kelam penjajahan. Pada saat itu, pemerintah kolonial membawa penduduk Indonesia untuk dijadikan pekerja di Suriname.
Selain mempelajari bahasa Indonesia, masih terdapat cukup banyak penduduk Suriname yang masih cukup fasih untuk berbicara dengan bahasa daerah, salah satunya bahasa Jawa.
Meski begitu, bahasa Jawa di Suriname tidak benar-benar sama dengan bahasa Jawa yang dipakai di Indonesia. Ini bisa terjadi karena bahasa Jawa Suriname juga dipengaruhi oleh bahasa setempat yang digunakan.
Inggris menjadi negara berikutnya yang turut mempelajari budaya dan Bahasa Indonesia, terutama pada kebudayaan asli tanah air. Salah satu alat musik tradisional Indonesia, yakni angklung dan gamelan menjadi mata pelajaran di beberapa sekolah yang ada di Inggris.
Whitefield School yang terdapat di London Utara dan juga Havering Music School yang terletak di bagian London Timur merupakan sekolah yang mencantumkan angklung sebagai mata pelajaran mereka.
Thailand adalah salah satu negara yang mempelajari budaya dan bahasa Indonesia. Minat belajar budaya dan bahasa Indonesia di Thailand terbilang cukup tinggi. Terbukti hingga saat ini, Thailand telah membuka mata kuliah pilihan Bahasa Indonesia bagi mahasiswa S-1 di sejumlah universitas, sebut saja Chulalongkorn University, Neresuan Universty, dan banyak lagi.
Bahkan siswanya berkesempatan langsung mempelajari bahasa dan budaya Indonesia langsung di tanah air lewat program pembelajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA).
Sudah sejak lama Jepang dengan Indonesia memiliki hubungan yang baik dalam berbagai bidang. Jepang pun juga menjadi salah satu negara tujuan para mahasiswa Indonesia untuk menimba ilmu.
Dengan kenyataan ini, maka bukan sesuatu yang mengherankan jika Jepang juga menjadikan Bahasa Indonesia sebagai salah satu mata kuliah. Tokyo University of Foreign Studies menjadi salah satu universitas di Jepang yang menyediakan jurusan Bahasa Indonesia.
Negara terakhir yang juga turut mempelajari Bahasa Indonesia adalah Korea Selatan. Baik pelajar Korea Selatan dan juga Indonesia sendiri sama-sama tertarik untuk mempelajari bahasa masing-masing.
Terdapat beberapa universitas di Korea Selatan yang mencantumkan program studi Bahasa Indonesia. Sebut saja Hankuk University of Foreign Studies dan Busan University of Foreign Studies.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Sosbud Selengkapnya
Penelusuran dan perkembangan bahasa Melayu bisa dimulai dari pengamatan beberapa inskripsi (batu bertulis) atau prasasti yang merupakan bukti sejarah keberadaan bahasa Melayu di kepulauan Nusantara. Prasasti-prasasti ini mengungkapkan sesuatu dengan menggunakan bahasa Melayu. Prasasti-prasasti ini antara lain: 1. Kedukan Bukit (683 M), 2. Talang Tuwo (684 M), 3. Kota Kapur (686 M), 4. Karang Brahi (686 M), 5. Gandasuli (832 M), 6. Bogor (942 M), dan 7. Pagaruyung (1356)
Pada beberapa prasasti ini banyak dijumpai tulisan Melayu Kuno yang bahasanya merupakan campuran antara bahasa Melayu Kuno dan bahasa Sansekerta, antara lain: – Prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan di tepi Sungai Tatang di Sumatera Selatan, yang bertahun 683 Masehi atau 605 Saka ini dianggap prasasti yang paling tua, yang memuat nama Sriwijaya. – Prasasti Talang Tuwo, bertahun 684 Masehi atau 606 Saka, menjelaskan tentang konstruksi bangunan Taman Srikestra yang dibangun atas perintas Hyang Sri-Jayanaca sebagai lambang keselamatan raja dan kemakmuran negeri. Prasasti ini juga memuat berbagai mantra suci dan berbagai doa untuk keselamatan raja. – Prasasti Kota Kapur di Pulau Bangsa dan prasasti Karang Brahi di Kambi, keduanya bertahun 686 Masehi atau 608 Saka, isinya hampir sama, yaitu permohonan kepada Yang Maha Kuasa untuk keselamatan kerajaan Sriwijaya, agar menghukum para penghianat dan orang-orang yang memberontak kedaulatan raja. Juga berisi permohonan keselamatan bagi mereka yang patuh, taat, dan setia kepada raja Sriwijaya.
Dari berbagai prasasti tersebut yang berasal dari zaman Sriwijaya, bisa disimpulkan bahwa bahasa Melayu Kuno pada zaman itu telah berperan sebagai lingua franca. Bahkan ada kemungkinan bahasa Melayu sudah digunakan sebagai bahasa resmi pada zaman Sriwijaya. Kesimpulan ini diperkuat oleh keterangan I Tsing tentang bahasa Sansekerta dan bahasa Melayu (diistilahkan Kw’en Lun) memegang peranan penting dalam kehidupan politik dan keagamaan di Sriwijaya. Selain dari berbagai prasasti tersebut, terdapat pula beberapa catatan yang bisa dijadikan sebagai sumber informasi tentang asal-usul bahasa Melayu. Sejarah kuno negeri Cina juga turut membuktikan tentang keberadaan bahasa Melayu tersebut. Pada awal masa penyebaran agama Kristen, pengembara-pengembara Cina yang berkunjung ke Kepulauan Nusantara menjumpai adanya berbagai lingua franca yang mereka namai Kw’en Lun di Asia Tenggara. Salah satu di antara Kw’en Lun itu oleh I Tsing diidentifikasi di dalam Chronicle-nya sebagai bahasa Melayu.
Peristiwa Traktat London (Perjanjian London) 1824 antara pemerintah Inggris dan Belanda merupakan tonggak sejarah yang sangat penting. Sebab, pada traktat itu berisi kesepakatan pembagian dua wilayah, yaitu: Semenanjung Melayu dan Singapura beserta pulau-pulau kecilnya menjadi kekuasaan kolonial Inggris; dan Kepulauan Nusantara (Kepulauan Sunda besar: pulau-pulau Sumatera, Jawa, sebagian Borneo/kalimantan, dan Sulawesi; Kepulauan Sunda kecil: pulau-pulau Bali, Lombok, Flores, Sumbawa, Sumba, sebagian Timor, dan lain-lain; Kepulauan Maluku dan sebagian Irian) menjadi kekuasaan kolonial Belanda. Oleh karena itu, perkembangan bahasa Melayu ini dapat dikelompokkan menjadi dua periode, yaitu: 1. Periode sebelum Traktat London 2. Periode sesudah Traktat London
Era Kerajaan Sriwijaya (abad ke-7 sampai dengan abad ke-11 M)
Sebagai kerajaan maritim, Sriwijaya mengalami masa kejayaan relatif cepat karena lokasinya yang sangat strategis di Selat Malaka, suatu pusat perdagangan penting selama berabad-abad lamanya. Banyak saudagar dari timur dan barat serta dari Kepulauan Nusantara bertemu dan mengadakan transaksi dagang. Tentu saja bahasa Melayu, atau semacam bahasa Melayu kuno, menjadi bahasa para saudagar itu. Itulah sebabnya bahasa Melayu menjadi bahasa resmi Kerajaan Sriwijaya. Dengan demikian, Kerajaan Sriwijaya merupakan pusat kegiatan manusia dan pusat administrasi kerajaan dan daerah-daerah taklukannya. Selain itu, Sriwijaya juga merupakan pusat pendidikan, kebudayaan, dan keagamaan. Menurut Mees, Sriwijaya mendirikan suatu perguruam tinggi Buddha yang mahasiswanya datang dari semua penjuru kawasan yang dikuasainya. Beberapa dari mahasiswa bahkan datang dari kerajaan-kerajaan Champa dan Kamboja. Bahasa pengantar pada perguruan tinggi dan pusat-pusat pendidikan lainnya adalah bahasa melayu kuno atau lingua franca Kw’en Lun.
Era Kerajaan-kerajaan Melayu (abad ke-12 sampai dengan abad ke-19 M)
Pemakaian bahasa Melayu yang dipengaruhi bahasa Sansekerta telah mendominasi Kerajaan Sriwijaya. Hal ini jelas terlihat pada berbagai prasasti yang ditemukan pada berbagai tempat di Sumatra. Tetapi, dalam era berikutnya, yaitu era Kerajaan-kerajaan Melayu yang muncul dari abad ke-12 sampai dengan abad ke-19 Masehi, bahasa yang dipakai tidak lagi dipengaruhi oleh bahasa Sansekerta. Raja-raja yang berkuasa pada saat itu berketurunan Melayu.
Pada era Kerajaan-kerajaan Melayu ini, penyebaran bahasa Melayu mengalami perkembangan yang sangat pesat. Kedatangan orang-orang Eropa yang ikut mempergunakana bahasa Melayu sebagai lingua franca tidak hanya membantu penyebaran bahasa itu secara ekstensif melainkan juga menaikkan statusnya sebagai bahasa yang memiliki “norma supraetnik”, melebihi norma etnik bahasa-bahasa daerah lainnya yang ada di Kepulauan Nusantara.
Pigafetta yang mendampingi Magelhaens di dalam pelayarannya yang pertama mengelilingi dunia, berhasil menyusun glosari (kamus) pertama bahasa Melayu ketika kapalnya berlabuh di Tidore tahun 1521 M. Glosari Pigafetta yang sederhana ini menunjukkan bahwa bahasa Melayu yang berasal dari Indonesia bagian barat telah menyebar ke bagian timur Kepulauan Nusantara pada waktu itu. Bahkan, pada tahun 1865 pemerintah kolonial Belanda mengangkat bahasa Melayu sebagai bahasa resmi kedua mendampingi bahasa Belanda. Hal ini mengisyaratkan bahwa peranan bahasa Melayu sebagai lingua franca tidak dapat diabaikan begitu saja.
Pada tahun 1581, Jan Huygen van Linschoten, seorang pelaut Belanda yang berlayar ke Indonesia, menulis di dalam bukunya Itinerarium Schipvaert naar Oost ofte Portugaels Indiens bahwa bahasa Melayu adalah bahasa yang dipergunakan oleh banyak orang timur, dan bahwa barang siapa yang tidak mengerti bahasa itu akan berada dalam keadaan seperti orang Belanda (dari zaman yang sama) yang tidak mengerti bahasa Perancis.
Pada akhir abad ke-17, sewaktu Francois Valentyn di Malaka, ia menulis buku berjudul Oud en Nievw Oostindien II Del V tentang bahasa Melayu. Dalam buku tersebut dinyatakan bahwa bahasa Melayu telah terbukti menjalankan fungsinya sebagai alat komunikasi dan lingua franca yang penting di Malaka. Valentyn seorang pendeta dan ahli sejarah berbangsa Belanda dalam penulisan buku sebanyak enam jilid menjelaskan sejarah dan skenario kota pelabuhan di Kepulauan Melayu. Sebagian penjelasannya adalah: “Bahasa mereka, yaitu bahasa Melayu … bukan saja digunakan di pantai-pantai Tanah Melayu, melainkan juga di seluruh India dan di negeri-negeri sebelah timur. Di mana-mana pun bahasa ini dipahami oleh setiap orang. Bahasa ini bagaikan bahasa Perancis atau bahasa Latin di Eropa, atau senacan bahasa perantara di Itali atau di Levent. OLeh karena banyaknya bahasa ini digunakan, maka seseorang yang mampu bertutur dalam bahasa Melayu akan dapat dipahami orang baik dalam negeri Persia maupun Filipina.”
Kerajaan Melayu Bintan-Tumasik (abad ke-12 sampai dengan abad ke-13 M)
Segera setelah Kerajaan Bintan didirikan di Pulau Bintan keadaan memaksa raja memindahkan ibu kota kerajaannya ke Pulau Tumasik (sekarang Singapura). Beberapa tahun kemudian, Tumasik dikuasai oleh Kerajaan Majapahit dari Jawa. Ibu kota, sekali lagi, harus dipindahkan ke Malaka. Daerah-daerah tempat perpindahan ini masih termasuk daerah Riau dan bahasa Melayu dipergunakan di daerah itu sebagai bahasa ibu.
Diperkirakan bahwa perpindahan pusat kekuasaan itu terjadi antara tahun 1100 M sampai dengan tahun 1250 M. Sayang sekali tak ada catatan tertulis yang dapat dijadikan sumber acuan mengenai peran bahasa Melayu selama era Bintan-Tumasik ini. Jadi, apakah bahasa Melayu yang dipergunakan pada sub-era ini ada hubungannya dengan bahasa Melayu pada era Kerajaan Sriwijaya tidak dapat diketahui dengan pasti.
Banyak ahli bahasa dan orientalis menganggap bahwa bahasa Melayu era Kerajaan Sriwijaya adalah semacam bahasa Melayu kuno seperti yang ditunjukkan oleh berbagai prasasti abad ke-7 M. Salah satu ahli bahasa Umar Junus, bersikap agak ragu tentang hubungan antara bahasa Melayu kuno dengan bahasa Melayu Riau. Tetapi, dengan adanya bahasa Melayu Bintan-Tumasik yang merupakan suatu bentuk bahasa peralihan antara kedua bahasa itu, maka keraguan Junus hilang dengan sendirinya. Terlebih lagi ada asumsi yang mengatakan bahwa suatu bahasa kini merupakan perkembangan bahasa masa lampau. Dengan demikian, asumsi bahwa ada hubungan antara bahasa Melayu kuno dan bahasa Melayu era Kerajaan Sriwijaya benar adanya.
Kerajaan Melayu Riau (abad ke-14 sampai dengan abad ke-19 Masehi)
Pada pembahasan ini perlu kiranya dibedakan dengan jelas antara bahasa Melayu era Kerajaan Sriwijaya dan bahasa Melayu dari sub-era Kerajaan Riau. Seperti disinggung sebelumnya bahwa bahasa Melayu era Kerajaan Sriwijaya sangat dipengaruhi oleh bahasa Sansekerta. Karena sifat kekunoannya itu, banyak ahli bahasa menyebut bahasa pada era Kerajaan Sriwijaya itu sebagai bahasa Melayu Kuno. Sementara itu, bahasa Melayu pada sub-era Kerajaan Riau atau Kerajaan Melayu Riau sama sekali tidak dipengaruhi oleh bahasa Sansekerta dan memiliki ciri khas tersendiri, yaitu Riau. Oleh sebab itu, bahasa ini disebut “bahasa Melayu Riau”. Terdapat tiga periode dalam era ini, seperti diuraikan berikut ini.
Kerajaan Malaka (abad ke-14 sampai dengan abad ke-15 M)
Seperti telah dikatakan sebelumnya, tentara kerajaan Majapahit yang menyerang Kerajaan Tumasik memaksa Raja Tumasik memindahkan pusat kekuasaannya ke Malaka. Adat-istiadat dan bahasa yang dibawa dari Tumasik dipertahankan, dan mulai saat itu dan seterusnya bahasa Melayu Riau berkembang dan tersebar ke hampir seluruh penjuru Semenanjung Malaya.
Kerajaan Malaka berkibar selama hampir 100 tahun. Lokasinya yang berada di pintu gerbang Selat Malaka, yaitu rute lalu lintas pelayaran yang ramai dan penting yang menghubungkan antara Asia Timur dan Asia Barat, antara Asia Timur dan Eropa, antara Samudra India dan Laut Cina Selatan, dan antara Samudra India dan Samudra Pasifik, Malaka merupakan pelabuhan yang paling sibuk di kawasan Asia Tenggara pada waktu itu.
Pada peralihan abad ke-15, Malaka juga menjadi pusat penyebaran agama Islam. Dengan demikian, Malaka menjadi pusat dua kegiatan, yaitu perkembangan dan penyebaran bahasa Melayu, dan penyebaran ajaran agama Islam. Sebenarnya, kedua kegiatan ini terlaksana secara bersamaan, sebab para guru dan pengajar agama Islam, dalam melaksanakan misinya, mengikuti perjalanan para pelaut dan pedagang, mempergunakan bahasa Melayu.
Pada tahun 1511, misionaris Portugis menyerang dan menaklukkan Malaka yang memaksa dipindahkannya pusat kedua kegiatan tersebut. Pusat perkembangan dan penyebaran bahasa Melayu, dan penyebaran ajaran agama Islam dipindahkan ke Johor. Meskipun Malaka dijadikan oleh Portugis sebagai pusat penyebaran agama Kristen, namun peran sebagai pusat pengembangan dan penyebaran bahasa Melayu tetap berlangsung. Berkat orang Portugis, penggunaan bahasa Melayu tidak terbatas hanya di kawasan Asia Tenggara saja, melainkan meluas ke pusat-pusat perdagangan di India dan Cina Selatan. Sebagai bukti, Ar-Raniri, seorang pengarang dan teolog Islam yang lahir dan besar di India telah menguasai bahasa Melayu dengan baik ketika ia tiba di Aceh tahun 1637. Hal ini hanya mungkin apabila bahasa Melayu telah banyak dipergunakan di Gujarat pada masa itu.
Bahasa Melayu juga menyebar ke benua Eropa dalam abad ke-16. Karena bahasa Malayulah yang dipergunakan oleh para raja atau pangeran Melayu ketika berkomunikasi dengan raja Portugis. Pada waktu yang sama, St. Francis Xavier mempergunakan bahasa Melayu untuk mengajak penduduk Maluku memeluk agama Kristen. Xavier sendiri mengatakan bahwa bahasa Melayu merupakan bahasa yang dimengerti oleh hampir setiap orang.
Periode Kerajaan Johor (abad ke-16 sampai dengan abad ke-17 M)
Dengan ditaklukkannya Malaka oleh Portugis pada tahun 1511, kegiatan kerajaan itu dipindahkan ke Johor, suatu daerah di sebelah selatan Malaka di Semenanjung Malaya. Lokasinya tidak sebaik lokasi Malaka dalam hal pengembangan dan penyebaran bahasa Melayu dan ajaran agama Islam. Meskipun demikian, periode Kerajaan Johor telah menyumbangkan sesuatu yang amat berharga, yaitu mempertahankan bentuk bahasa Melayu Malaka. Di Malaka, nama bahasa Melayu Malaka masih tetap dipergunakan, tetapi unsur-unsur bahasa Portugis banyak ditambahkan ke dalam bahasa tersebut sehingga pantas disebut “bahasa pidgin”. Bahasa Melayu Malaka sebelum penaklukan Portugis sangat berbeda dengan bahasa Melayu Malaka setelah Malaka dikuasai Portugis. Bahasa Malayu Johorlah yang mempertahankan ciri-ciri khas bahasa Melayu Malaka sebelum penaklukan Portugis.
Bahasa Melayu Johor memegang peran penting di dalam penyebarluasan agama Islam ke bagian timur Kepulauan Nusantara. Kesusastraan Melayu dari abad ke-16, dan bahkan sampai abad ke-17, sangat dipengaruhi oleh ajaran dan pemikiran Islam. Bahasa Melayu Johor sangat berjasa di dalam penyebaran ajaran agama Islam di Kepulauan Nusantara, bahkan di kawasan Asia Tenggara.
Periode Kerajaan Riau-Lingga (abad ke-18 sampai dengan abad-19 M)
Pada tahun 1719 Raja Kecil, dari Istana Kerajaan Johor, dipaksa memindahkan pusat kekuasaannya ke Ulu Riau, di Pulau Bintan, salah satu pulau yang bergabung dalam Kepulauan Riau. Pemindahan ini merupakan permulaan dari suatu periode dalam pengembangan dan penyebaran bahasa Melayu, yaitu periode Kerjaan Riau dan Lingga. Dalam periode inilah bahasa Melayu memperoleh ciri ke-Riau-annya, dan bahasa Melayu Riau inilah yang merupakan cikal bakal bahasa Nasional Indonesia yang dicetuskan pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.
Periode Kerajaan Riau dan Lingga tercatat mulai tahun 1719, ketika didirikan oleh Raja Kecil, sampai dengan tahun 1911, ketika kerajaan itu dihapus oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Selama keberadaan kerajaan ini hampir 200 tahun lamanya, ada tiga momentum yang penting sekali bagi perkembangan dan persebaran bahasa Melayu Riau, yaitu tahun 1808, ketika Raja Ali Haji lahir; tahun 1857, ketika Raja Ali Haji menyelesaikan bukunya yang berjudul Bustanul Katibin, suatu tatabahasa normatif bahasa Melayu Riau; dan tahun 1894, ketika percetakan Mathba’atul Riauwiyah atau Mathba’atul Ahmadiyah didirikan. Pengoperasian percetakan Mathba’atul Riauwiyah ini sangat penting karena melalui buku-buku dan pamflet-pamflet yang diterbitkannya, bahasa Melayu Riau tersebar ke daerah lain di Kepulauan Nusantara.
Selama perang antara Perancis dan Inggris yang berlangsung di Eropa, yang berakibat Negeri Belanda sempat diduduki Perancis beberapa tahun, selama itu terjadi pula perang antara kekuasaan Inggris di Asia Tenggara dan kekuasaan Belanda yang tunduk kepada pemerintah Perancis di Kepulauan Nusantara.
Setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis, daerah ini semakin penting peranannya sebagai pusat perdagangan. Tertarik oleh kekayaan yang melimpah yang dipersembahkan oleh daerah ini kepada raja Portugis, perusahaan British Est India, yang pada saat itu masih beroperasi di India, mulai meluaskan daerah perdagangannya ke Asia Tenggara. Segeralah muncul konflik kepentingan di antara ketiga kekuasaan kolonial: Inggris, Belanda, dan Portugis.
Dari sudut pengembangan dan penyebaran bahasa Melayu, konflik antara Inggris dan Belanda sangat penting, karena konfrontasi antara kedua kekuasaan itu berakhir pada pembagian kawasan Kepulauan Nusantara menjadi dua, sedang berdasarkan variasi bahasa Melayu yang dipergunakan di kawasan itu, bahasa Melayu juga terbagi menjadi dua yaitu bahasa Melayu Johor dan bahasa Melayu Riau.
Pada tanggal 2 Februari 1819, Stamford Raffles mendirikan Singapura pada bekas kerajaan Tumasik yang tergabung dalam Kepulauan Riau. Setelah benteng Singapura ini didirikan, Inggris dan Belanda berada dalam konflik bersenjata terus-menerus karena berebut kepentingan. Segera setelah perang Napoleon di Eropa mereda, pada tahun 1824 ditandatangani persetujuan untuk mengakhiri konflik bersenjata antara Inggris dan Belanda di Asia Tenggara. Persetujuan itu terkenal dengan nama London Treaty of 1824 (Traktat London 1824) yang membagi kawasan Kepulauan Nusantara menjadi dua bagian: Kepulauan Indonesia berada di bawah pemerintahan Kolonial Belanda dan Semenanjung Malaya dan Singapura berada di bawah kekuasaan Kolonial Inggris. Dengan demikian, Kerajaan Riau dan Lingga menjadi bagian dari daerah pemerintahan Kolonial Hindia Belanda, dan Kerajaan Johor dan sekitarnya menjadi bagian dari daerah pemerintahan Kolonial Inggris. Mulai saat itu pula, perpisahan bahasa Melayu Riau dan bahasa Melayu Johor secara legal terjadi.
Bahasa Melayu Riau yang merupakan bahasa ibu penduduk Kerajaan Riau-Lingga dan pulau-pulau di sekitarnya, berkembang dan menyebar dengan sangat pesat, sesuai dengan keperluan masyarakat yang bersangkutan sebagai alat komunikasi lisan. Bahkan, sejak berlakunya Persetujuan London atau Traktat London, bahasa Melayu Riau mendapatkan status yang baik dalam kesusastraan dunia. Berbagai karya kesusastraan yang cukup tinggi nilainya yang ditulis oleh penutur asli bahasa Melayu Riau diterbitkan. Pada tahun 1857, misalnya, Raja Ali Haji menerbitkan bukunya yang berjudul Bustanul Katibin, sebuah buku tatabahasa normatif bahasa Melayu Riau. Buku tatabahasa ini selama berpuluh-puluh tahun dipergunakan oleh sekolah-sekolah di wilayah Kerajaan Riau-Lingga, dan di Singapura. Pengarang-pengarang lain yang sezaman dengan Raja Ali Haji, misalnya, Raja Ali Tengku Kelana, Abu Muhammad Adnan, dan lain-lain, juga menerbitkan karya mereka. Publikasi karya Raja Ali Haji dan pengarang lain dapat dianggap sebagai upaya awal dalam proses pembakuan bahasa Melayu Riau. Bahkan, pada permulaan abad ke-20 karya-karya ini dijadikan buku acuan oleh ahli-ahli bahasa Belanda. Bahasa Melayu Riau yang sedang berkembang pesat dan tumbuh dengan baik ini oleh banyak ahli bahasa disebut sebagai bahasa Melayu Tinggi.
Perkembangan Bahasa Melayu Sesudah Traktat London
Sesudah Traktat London ditandatangani antara pemerintah Inggris dan Belanda, pemisahan antara Bahasa Melayu versi Riau dan Johor semakin nyata. Bahasa Melayu versi Johor di Semenanjung Malaya dan Singapura berkembang, tetapi tidak sepesat perkembangan versi bahasa Melayu Riau di Kepulauan Nusantara. Bahasa Melayu Riau mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal ini disebabkan oleh masyarakat pribumi yang bersifat multi-etnik yang mempunyai bahasa daerah sendiri-sendiri. Di samping itu, bahasa Melayu yang sejak dulu menjadi lingua franca meningkat statusnya menjadi bahasa yang memiliki norma supra-etnik dikuasai oleh hampir semua orang yang suka berlayar atau bepergian ke mana-mana. Perkembangan bahasa Melayu versi Johor di Semenanjung Melaya dan Singapura tidak sepesat dengan perkembangan bahasa Melayu versi Riau di Kepulauan Nusantara. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, di antaranya politik bahasa yang dianut oleh Inggris. Pemerintah Kolonial Inggris mengakui adanya empat bahasa resmi, yaitu bahasa Melayu, bahasa Mandarin, bahasa Tamil, dan bahasa Inggris. Keempat bahasa itu dipergunakan sebagai bahasa pengantar pada lembaga-lembaga pendidikan. Umumnya, bahasa Inggris paling dominan dipergunakan sebagai bahasa pengantar.
Keadaan kebahasaan seperti digambarkan di atas berlangsung sampai dengan terbentuknya Negara Persekutuan Tanah Melayu pada tahun 1956. Peristiwa ini kemudian disusul dengan terbentuknya Negara Malaysia, yang mencakup Serawak dan Sabah. Setelah kemerdekaan dicapai, bahasa Melayu di negara tersebut mulai memerankan fungsinya sebagai bahasa resmi, bahasa negara, bahasa nasional, dan mengalami perkembangan yang cukup pesat.
Sampai saat ini bahasa Melayu, baik yang sekarang menjadi bahasa Indonesia di Indonesia, bahasa Melayu di Malaysia, bahasa Melayu Baku di Brunai, dan bahasa nasional di Singapura, tetap berkembang dan menjalankan fungsinya sebagai alat komunikasi secara efektif. Bahkan, secara de facto telah berperan sebagai bahasa komunikasi luas di Asia Tenggara. Saat ini yang diperlukan adalah pengakuan dari dunia internasional melalui PBB bahwa bahasa Melayu merupakan salah satu bahasa yang layak dipakai sebagai bahasa komunikasi internasional atau dunia. Apabila harapan ini tercapai, berarti secara de jure bahasa Melayu akan semakin terangkat derajatnya.
1. Sejarah Perkembangan Pragmatik Di Indonesia
Di Indonesia istilah pragmatik secara nyata baru disebut-sebut pada tahun 1984, yaitu pada saat diberlakukannya Kurikulum SMA Tahun 1984. Di dalam kurikulum itu pragmatik merupakan salah satu pokok bahasan bidang studi Bahasa Indonesia. Atas dasar tuntutan kurikulum itulah, istilah itu mulai dibicarakan dan dibahas.
Buku acuan yang merupakan perintis bidang pragmatik di Indonesia pada awalnya adalah karya Tarigan (1986) berjudul Pengajaran Pragmatik. Buku ini masih sangat umum, deskripsi tentang topik-topiknya sangat terbatas dan sekadar mengatasi kelangkaan bahan ajar bidang itu. Nababan (1987) mencoba pula menerbitkan buku Ilmu Pragmatik (Teori dan Penerapannya), yang juga masih banyak mengandung kekurangan. Sementara itu, Tallei (1988) mencoba mendeskripsikannya agak mendalam. Topik-topik bahasannya antara lain tindak tutur (speech act), implikatur, dan praanggapan (presupposition). Sayang sekali karya Tallei ini tidak mencakup semua topik pragmatik dan bahasannya hanya merupakan bagian dari karya yang berjudul Analisis Wacana.
Tahun 1990, Purwo menerbitkan buku yang berjudul Pragmatik dan Pengajaran Bahasa. Buku ini merupakan gugatan atas perlakuan terhadap pragmatik di Indonesia dengan mencoba meluruskan pengertiannya. Baginya cabang linguistik ini dapat dibedakan menjadi dua hal, yaitu (1) pragmatik sebagai sesuatu yang diajarkan, dan (2) pragmatik sebagai sesuatu yang mewarnai tindakan mengajar. Buku Purwo ini hanya membahas empat hal saja, yaitu dieksis, praanggapan, tindak ujaran, dan implikatur percakapan. Keluasan cakupan bahasan inilah yang menjadi kelemahan buku tersebut.
Di tahun 1990 juga, Suyono menerbitkan buku yang berjudul Pragmatik: Dasar-Dasar dan Pengajarannya. Sayangnya, buku ini tidak membahas secara mendalam seluruh topik yang disajikan. Bahasan Lubis (1993) dalam karyanya Analisis Wacana Pragmatik agak mendalam. Meski demikian, karya ini hanya membahas dari aspek analisis wacana. Aspek-aspek lain belum disentuhnya. Hal serupa juga terjadi dalam karya Ibrahim (1993) yang berjudul Kajian Tindak Tutur, yang hanya mengupas satu topik saja, yaitu tindak tutur.
Pada tahun 1996 terbit buku Dasar-Dasar Pragmatik karya Wijana. Buku ini sebenarnya menuju ke arah pragmatik yang sebenarnya. Topik-topik bahasannya cukup banyak, dari situasi tutur, tindak tutur, jenis tindak tutur, presupposisi, implikatur, emtailment, kalimat analitis -kontradiktif- sintetis, prinsip kerjasama, prinsip kesopanan, sampai dengan parameter pragmatik. Hanya saja deskripsi di dalam karya ini masih sangat terbatas, berkecil-kecil, dan bersifat anomalitis.
Penelitian tentang pragmatik di dalam rangka disertasi telah dilakukan oleh Purwo (1984). Pokok persoalan penelitian itu adalah diesksis. Penelitian ini merupakan perintis penelitian tentang pragmatik di Universitas Indonesia. Rintisan penelitian bidang pragmatik dilakukan pula oleh Rofiudin (1994) dari IKIP Malang, dengan topik bahasan tentang sistem pertanyaan dalam bahasa Indonesia.
Penelitian lain yang berkaitan dengan pragmatik dilakukan oleh Gunarwan, peneliti Universitas Indonesia. Tahun 1992, ia meneliti persepsi kesantunan direktif di dalam bahasa Indonesia di antara beberapa kelompok etnik di Jakarta. Direktif dan sopan santun bahasa di dalam bahasa Indonesia merupakan topik penelitian pragmatik Gunarwan (1995) berikutnya. Temuannya ialah bahwa ada kesejajaran antara ketidaklangsungan tindak tutur direktif dan kesantunan pemakaiannya. Hanya saja kesejajaran itu tidak selamanya berlaku.
Penelitian pragmatik dalam bahasa Indonesia dengan latar budaya Jawa telah dilakukan Gunarwan (1993 dan 1997). Penyelidikan Gunarwan (1993) berpokok bahasanan kesantunan negatif di kalangan dwibahasawan Indonesia-Jawa di Jakarta dengan menerapkan kajian sosiopragmatik. Pada tahun 1997 ia juga menghasilkan karya penelitian di bidang ini, berupa karya tentang tindak tutur melarang di dalam bahasa Indonesia di kalangan penutur jati bahasa Jawa. Makalahnya telah disajikan dalam Kongres Linguistik Nasional di Surabaya tanggal 7-11 November 1997.
Dalam bahasa Jawa telah pula dilakukan penelitian tentang cabang linguistik ini, yaitu oleh Ngadiman (1994) dan Gunarwan (1996). Ngadiman (1994) meneliti implikatur percakapan di dalam bahasa Jawa di Yogyakarta. Penelitian ini memperoleh temuan bahwa bahasa Jawa kaya akan implikatur percakapan. Bentuk-bentuk figuratif di dalam bahasa Jawa seperti sanepa, wangsalan, dan bebasan merupakan realisasi implikatur percakapan bahasa Jawa di Yogyakarta.
Sementara itu, Gunarwan (1996) telah melakukan penyelidikan tentang tindak tutur mengkritik dengan parameter umur di kalangan [enutur jati bahasa Jawa dan implikasinya pada usaha pembinaan bahasa. Hasil penelitian ini disajikan dalam Kongres Bahasa Jawa di Batu, Malang. Ia menarik simpulan bahwa bentuk kritik di kalangan orang Jawa sejalan dengan gradasi umur. Realisasi tindak tutur mengkritik di antara penutur bahasa Jawa tidak berbeda karena faktor jenis kelamin. Simpulan penting lainnya adalah bahwa orang muda Jawa lebih langsung dalam mengemukakan kritik daripada orang tua.
Berdasarkan deskripsi itu dapat dinyatakan bahwa kajian bidang pragmatik di Indonesia masih sangat terbatas. Implikatur percakapan sebagai fenomena terpenting di dalam bidang ini baru diteliti beberapa orang. Penelitian yang dilakukan itu pun belum memadai sebagai karya pragmatik yang mendalam. Karya Soedjatmiko (1992) tentang aspek linguistik dan sosiokultural di dalam humor dan Wijana (1996) tentang wacana kartun di dalam bahasa Indonesia bukanlah tentang implikatur percakapan.
2. Sekilas Perbedaan Pragmatik, Sintaksis, Semantik, dan Sosiolinguistik
Perbedaan pragmatik, sintaksis, semantik, dan sosiolinguistik dapat dijelaskan secara ringkas seperti berikut.
Rustono. 1999. Pokok-Pokok Pragmatik. Semarang: CV IKIP Semarang Press.
%PDF-1.5 %âãÏÓ 270 0 obj <> endobj xref 270 50 0000000016 00000 n 0000002134 00000 n 0000002299 00000 n 0000002783 00000 n 0000003255 00000 n 0000003691 00000 n 0000004252 00000 n 0000004364 00000 n 0000004478 00000 n 0000005089 00000 n 0000005358 00000 n 0000005633 00000 n 0000006167 00000 n 0000006450 00000 n 0000006889 00000 n 0000007550 00000 n 0000007692 00000 n 0000007719 00000 n 0000008320 00000 n 0000008911 00000 n 0000009506 00000 n 0000009655 00000 n 0000010157 00000 n 0000010728 00000 n 0000010755 00000 n 0000011248 00000 n 0000011526 00000 n 0000012144 00000 n 0000012686 00000 n 0000013304 00000 n 0000013870 00000 n 0000014364 00000 n 0000014796 00000 n 0000046307 00000 n 0000046590 00000 n 0000093053 00000 n 0000093123 00000 n 0000093221 00000 n 0000125082 00000 n 0000125375 00000 n 0000125837 00000 n 0000125935 00000 n 0000126005 00000 n 0000150959 00000 n 0000187063 00000 n 0000187546 00000 n 0000187962 00000 n 0000188382 00000 n 0000001953 00000 n 0000001323 00000 n trailer <<5CD2FC684DD2C649A090B0E99B399962>]/Prev 1075344/XRefStm 1953>> startxref 0 %%EOF 319 0 obj <>stream hÞb```b``ke`c``Õgb@ ! Çf…f†çé;øšëÖ¶io¼:¥`“¿ÃÔ™±‹,î´ 0àŽ~6—8Y ›cSÞÏË�_5;îÐCVßÔá.m2BŸ½tÔ¶e>òx´HjþºS."�Ï*Lp—°éÒÑ~>‹ýÕ²[rñÜÏ+²*Lð7u™j2çPËÖ_«4ž,ŠI_wrå Ç°ÃöP—F•–s&¿ï/ã\¾-R¹J#ëпŽ¡� ž —K”N÷=þ²)óí4�{]R«7²Z|öPêæ(l¾ôóY㯕‹®O:Œ7THáñYÁc±)w@®•X<):³j7‹¨'kp¿©ë5ŸÂæ}•êV$õyfVÝÑû�QÐØظ¢ÀB¡á`,ØÒP¥™aÊÁº�@I5¦¦‰ÍH -æhJÔQxJê(ê•””`àˆ= Pc0cÒ �˜‚E¤O2îeœÉ$ÆÊÎäÁð‰áãoFÆ9LUÅÀ4cÇdÂdÁPÅx›IèªK¿™ü™˜�Xšñ2ãÔª?Œ[S´Ük¢¹73¸3h'Æ÷¼e<ÁØÊØyú,�<Ï8‘ËŽ�O R‰ƒ@¬"8E28±.ƒ€ÛNP(00ˆe iN¶}O?T¸ë¬rLÒo‚‚ˆ· ÔÌÏ endstream endobj 318 0 obj <>/Filter/FlateDecode/Index[53 217]/Length 30/Size 270/Type/XRef/W[1 1 1]>>stream hÞbbÒe`b``Ń3Î ƒá 6šô endstream endobj 271 0 obj <>/Metadata 51 0 R/PageLabels 48 0 R/Pages 50 0 R/StructTreeRoot 53 0 R/Type/Catalog/ViewerPreferences<>>> endobj 272 0 obj <>/Font<>/ProcSet[/PDF/Text]/XObject<>>>/Rotate 0/StructParents 2/TrimBox[0.0 0.0 595.276 841.89]/Type/Page>> endobj 273 0 obj <> endobj 274 0 obj <> endobj 275 0 obj <> endobj 276 0 obj <> endobj 277 0 obj <> endobj 278 0 obj <>stream H‰\ÔÍŠâ@à}ž¢–Ý‹&šÜŸ‚`k7¸˜Æ™ˆIéÆbzáÛO�œ¦& ž+÷Ë�J¾Ýïö}7…üûxmq §®oÇx»¾�MÇxîúlY„¶k¦�³ù»¹ÔC–§Å‡ûmŠ—}ºfUòéâmïáaÓ^�ñ1Ë¿�m»þ~m�!?¼ÃŸx‰ýa½m<¥}©‡¯õ%†|^ö´oÓõnº?¥5ÿþñó>ÄPÌçKbškoCÝıîÏ1«éX‡ê-ë,öí×½à²ã©ù]�YUàÏ‹EúIÙ˜ ù™ùyżBÞ2o‘wÌ;äWæWä7æ¨ÊåœÓOÊs�\2—ÈÂ,ÈʬÈô”ð”ô”ð”æ 2g•˜%|Á³ç æ ç æ ç æ ç æ ç æ ç æŠ3;2 ƒ°A'B�À#/Ì/ÈìJЕ°+AW®] ý¿Ò¯ð+Í ³Ò¬0+Í ³Ò¬0+Í ³Ò¬0+Í ³Ò¬0+Í ³Ò 0{3ôf4FƒÁ`4FƒÁ`4FƒÁ`4FƒÁ`4ÆÞ½{3ôfìÍЛ±7CoF³ÁììÍÑ›Óïð;ý¿Óïð;ý¿Óïð;ý¿Óïð;ý¿Óïð;ýÿ ÷/K˜W¼›7àÇNÃVLoŒð¹Ï›÷qL[|~Ì{»ºëãç›g¸!Â'û+À )…� endstream endobj 279 0 obj <> endobj 280 0 obj <> endobj 281 0 obj <>stream H‰\“ÝJÃ@…ïó{©’6™�U…Ú*ô¬>@šlkÀnÂ6½èÛ»'G´ùòsfÎ&ùj³Þ„n4ùkì›Í¾mô§þovþÐ…l^˜¶kÆŸ«é¿9ÖC–'ñörýqö}VU&KOc¼˜«eÛïüu–¿ÄÖÇ.ÌÕÇj{mòíy¾üчÑÌÌbaZ¿O…žêá¹>z“O²›M›žwãå&iþÞx¿ÞÓõœfš¾õ§¡n|¬ÃÁgÕ,S=¦c‘ùÐþ{nÊvû泎YUàåÙ,�?�—¼_â~9'ÏÁ¹ —ä,d[²+YÁŽìÀ·ä[ðù¼$/û ú û ú { z { z ëêëêëêëËTÿž|^“×`ÎA0y$§aV–3±˜‰¥?–s°˜ƒ¥7o–Þ,¼)³(²(µ R«Ð*µ R«“–3TÌP™Q‘Q™Q‘Q™Q‘Q™Q‘Q™Q‘QWä˜yy•yy•yyó:äuôìàÙѳƒgGÏž=;xvôéàÓÑ[:a!6«™¾ ó»÷Í9Æ´òÓg6í:¶¼þ÷KúÁ$~Ù· ¨dæü endstream endobj 282 0 obj <> endobj 283 0 obj <>stream H‰\’ÍŠƒ0€ïyŠÛCñ7I"Û‚‡ýaÝ} ›Œ]a�!Úƒo¿§taÍ“™ùÈ$ªêSmû™Gï~Ô Ì¼ëñ0�w¯�_áÖ[–¤Üôz~ÌÖ¯ZÇ¢Ü,ÓCm»‘�>Ââ4û…oŽf¼Â–EoÞ€ïí�o¾ªfË£æîÜ`gó²äº�è¥u¯í